Kamis, 19 Januari 2012

Jalan Raya

Permainan semakin sengit sejak bapak berambut putih berkacamata bingkai hitam tebal kembali  melemparkan kartunya. Belasan kali gadis berhidung pesek mengernyitkan dahi dan mengigit bibir bawah sambil mengetuk kartu-kartu di tangannya, belasan kali juga ia harus mengocok ulang kartu itu. Dua lelaki yang lebih tua 15 tahun diatasnya  memandang penuh ejekan sambil menaikkan kedua alis dan hidung yang kembang kempis disertai tawa yang tak kunjung lirih. Sontak membuat si gadis menjerit histeris, "aaaakh, kenapa kau tahan balak kosong cucumu!". "Santailah nak maria, kalah itu biasa. Kau kan sedang bermain kartu bukan berlomba" sahut Pak Gus sambil membenarkan rambut gadis yang berwarna pirang khas tersengat matahari. Inilah alasannya mengapa setelah adzan magrib tadi Maria menyembunyikan jepit biru skyway kepunyaan kakeknya. Ia begitu dongkolnya jika melihat kakeknya selalu mengalahkannya dalam setiap permainan, padahal ia pun tak bisa tidur jika tidak mendengar cerita nabi khaidir mengarungi lautan dari kakeknya. Pernah suatu saat gadis ini menginap di rumah paman Farikh yang tak jauh dari rumahnya, dan alhasil hingga qomat  subuh berkumandang ia belum dapat memejamkan matanya.

"Troooooootttt!!!!!!!!" Sesekali ingatan kenangan kakek buyar tersaingi nyaringnya klakson truck yang membawa kontainer. Dan ingatan tentang manisnya masa kecilpun hilang terganti dengan membosankannya kehidupan yang semakin menua. Mengingat umurku hampir 27 tahun aku pun mengurungkan niat meneriaki sopir truck tersebut. Semakin kupacu gas semakin sayup suara orang-orang sok dewasa yang sering ku dengar saat kuliah. Sekumpulan orang yang sering berkata "kamu kenapa? ada masalah" padahal sebelumnya pun baru saja mengosipkan seseorang atau yang sering berbagi cerita betapa indahnya hidupnya dengan hobi barunya yang selalu berganti-ganti hobi. Kadang aku merasa lega karena aku tidak sempat memiliki hubungan yang dalam dengan orang-orang itu. 

Jalanan mulai ramai, sudah sampai di tengah kota rupanya. Terlihat peluh penjual kaki lima bercucuran namun masih sibuk menjajakan sepatu dan terlihat mobil yang berdesak-desakan parkir dipinggir kompleks pertokoan. Puluhan suara klakson kendaraan sibuk riuh memasuki saluran eustachea, segera ku tutup kaca mobil sebelum muncul bayangan tragedi. Namun, dari arah selatan sepasang kekasih dimabuk cinta mengendarai motor L2 super  melewati perempatan dan blashht menabrak roda depan sepeda unta. Gadis yang dibonceng pak tua terpental jauh. Darah dari telinga pak tua mengalir semakin deras hingga aspal memerah. Klakson riuh dari segala arah. Kedua anak muda itu menabrak trotoar dan tercium aroma alkohol dari mulut mereka. "Kampret! Gila! Sinting! Kenapa tidak mereka saja yang bercucuran darah!" geramku mengengam kacamata hitam kakek. Merah darah semakin nyata di aspal. Penglihatanku kabur. Tubuhku lemas. Aku terbangun di ruangan asing dengan dinding berwarna hijau muda bunga bunga. Aku tersenyum, kakek disebelahku. Dia sudah bersih tidak ada lagi darahnya. Kucium pipinya. Kupasangkan kembali kacamata kesayangannya. Kupegang tangannya yang lebih dingin dari biasanya. Disebelah kami ada pasangan kekasih tadi. Mereka tersenyum. Akupun tersenyum. Mereka diperban oleh suster. Sejenak aku menyesal apa yang telah kukatakan pada mereka. Seseorang mengatakan padaku kamu harus kuat dan mengajakku pulang bersama kakek. Ini pertama kalinya aku naik mobil, akupun duduk didepan. Kakek sepanjang jalan masih tidur, padahal aku ingin menunjukkan berang-berang diparit dekat sawah. Kami sampai dirumah, Paman Farikh dan tetangga lainnya mengangkat kakek masuk kerumah. Paman Farikh menangis memelukku. 2 tahun kemudian aku baru sadar saat itu kakek sudah meninggal.  

P. Farikh missed call. Nada dering menyadarkan ku, tinggal 1 jam lagi sampai di tujuanku. "1 Jam lagi sampai di makam... jangan lupa bawa yassin" sending text.

"Saat kau di jalan raya bukan tidak mungkin akan membangkitkan kenangan lamamu dan  ia jua lah pengobat paling mujarab saat kau ingin melupakan sesuatu"